Sore di hari Minggu itu, aku menjadi saksi suatu kejadian. Perbincangan yang dimulai dengan sangat tidak baik, cara yang sangat tidak baik. Aku melihat seorang gadis duduk dengan raut wajah marah dan menangis, dia duduk berserongan tidak jauh dari ayah dan ibunya. Banyak hal yang dibicarakan menurutku, aku menghitung waktu berjalan sangat cepat dari siang hingga sore hari.
Aku mendengar persis apa yang mereka bicarakan: karakter, ketidakmampuan memahami, keegoisan, ketidakadilan, saling menduga tanpa tahu keadaan sebenarnya. Aku melihat wajah mereka tidak akrab, suara mereka terdengar bernada geram dan tinggi. Bersaut-sautan satu sama lain, bahkan terkadang memotong di tengah pembicaraan. Terkadang si gadis berhenti menangis, tapi terkadang air matanya menetes kembali. Belum selesai.
Hari Minggu adalah waktu beribadah ke Gereja, aku melihat si gadis mulai gelisah melihat jam dinding. Sudah waktunya bersiap, pikirnya. Tapi aku melihat wajahnya bingung dan sedikit ragu, mungkin mempertimbangkan haruskah ia berangkat. Di waktu yang seperti ini? Haruskah? Pentingkah? Aku pikir itu akan sangat sulit.
Beberapa menit kebingungan, aku melihatnya berdiri dari tempat duduknya. Sepertinya dia mengambil keputusan untuk berangkat. Aku memperhatikannya berjalan ke baris depan, duduk diujung bangku menghadap Altar. Ia tidak banyak bicara dengan orang sekitarnya, dia kebanyakan diam, sibuk dengan kertas liturgi ibadah, buku kidung, dan telepon genggamnya.
Ibadah mulai, ia mulai tenang dan mengikuti ibadah. Sampailah di pemberitaan Firman, si Pembicara sedang memberitakan kisah seorang Rasul bernama Paulus dalam pelayanannya di Kota Korintus.
"...sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita,..."
Sesekali aku melihat ke arah si gadis saat Firman diberitakan, dia terlihat tegang, air mukanya berubah, seperti sesak menahan sesuatu. Aku sudah melihat air mukanya berubah bahkan sebelum Firman diberitakan, saat beberapa remaja menyanyikan satu lagu pujian:
"... Takkan Kau biarkan aku melangkah hanya sendirian,
Kau selalu ada bagiku, s'bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal"
Saat lagu itu disenandungkan, aku menengok ke arah si gadis. Ia menundukkan kepalanya, seperti sudah tidak kuat menahan sesuatu yang ingin keluar dari matanya. Tapi ia berhasil menahannya. Di akhir ibadah, ia sudah kewalahan. Beberapa tetes air mata jatuh ke pipinya yang kemudian langsung diusapnya. Menurutku, satu pujian penutup itu yang menjadi penyebabnya.
"... Duka, cemas, dan bimbang, kuasanya tak tetap; goda dan air mata akan seg'ra lenyap
S'lamat di tangan Yesus aman pelukanNya; dalam teduh kasihNya aku bahagia"
Seusai ibadah ditutup dengan doa, si gadis mengambil waktu teduh dan berdoa dalam hatinya. Aku melihat wajahnya sedikit berseri, berbeda dengan wajahnya ketika datang. Ia tersenyum.
Tak sadar, aku pun ikut tersenyum.
Aku sedikit mengenal gadis ini. Gadis yang sering bertengkar dengan diriku, kami terkadang berselisih paham mengenai beberapa hal, memperdebatkan beberapa hal. Walaupun banyak berselisih, pada akhirnya kami selalu mengambil keputusan bersama dan melakukannya bersama-sama. Karena gadis itu adalah aku, hatiku, dan pikiranku.
Sedikit share, ini pergumulan yang sedang gue alami. Dalam kondisi ga baik sama keluarga dan di waktu yang memungkinkan gue untuk "lari" (terkhusus dari ibadah minggu itu). Tapi ada satu hal yang gatau apa dan kenapa bisa mendorong gue untuk tetap berangkat. Dan bener, dari awal sampai akhir ibadah gue cuma bisa nangis terharu sama kasihNya Allah. Gue merasa kami sedang berbincang-bincang dan Dia bilang gimanapun pergumulan gue, Dia tetep ada, selalu ada, sama gue. Dan sepulang dari sana gue merasa bisa berdiri dan punya kekuatan yang lain, yang mampu buat gue untuk pulang dan melewati waktu di rumah.
Dia terlalu mengerti apa yang sedang kita hadapi
Dia terlalu tau apa yang akan kita lakukan
Dia terlalu kreatif untuk membuat kita kembali
Dia terlalu mengasihi kita
Dia Allah
Komentar
Posting Komentar